“Resta,
Tungguuuu!” teriak Andin, tergopoh-gopoh menghampiri Aresta. “Loe tu ya, kalo
di panggil nengok kenapa? Gak setia kawan amat sih!” gerutu Andin, mukanya
tertekuk rapi.
“Haa? Apa Ndin? Hehe maaf gue pake earphone.” Aresta
meringis.
“Kebiasaan deh! Udah rambut acak-acakan, seragam di
keluarin, pake sepatu belel, budek pula! Ampun deh Aresta! Kapan sih elo
berubah jadi cewek? Elo tuh cantik, tapi kayak gembel tau gak?! Malu-maluin
bonyok loe yang kolongmerat itu!”
“Ehh... enak aja gue dikatain gembel! Yeee kan gue pake
rok! Gue cewek tau! Urusan mereka mau kolongmerat kek, mau pejabat kek! Yang
jelas gue nyaman hidup dengan diri gue tanpa aturan yang harus ngelukisin
‘derajat’ hidup. Life just in one moment Andin! Toh kan itu uang mereka bukan
uang gue.”
“Elo, kapan sih Res mau berubah? Siapa yang mau sama elo
kalo elo kayak gini?”
“Sampe gue lupa ingatan siapa diri gue atau ada seseorang
yang bisa ngerebut fikiran gue.” Sangkal Aresta dengan badan membelakangi jalan
dan menghadap ke Andin.
Bruukkkkkk….
Tubuh Aresta tersungkur di lantai dengan tangan masih dapat bertompang di
lantai. “Hei, kalo jalan pake mata dong, loe gak liat apa badan segede gini
masih aja ditabrak. Emang ni jalan punya nenek moyang loe?!”
“Emang punya nenek moyang gue.” Cowok berpawakan tinggi
menjulang itu berlalu meninggalkan Aresta tanpa menoleh sedikit pun.
Meninggalkan Aresta dan Andin dalam ketercenganggan.
“Siapa sih tu orang Din? Kok belagu banget, udah nabrak
orang ditinggal pula, mana sakit lagi badan gue.” Sambil mencoba bangkit
berdiri. Bruuuuukkkkkkkkk… “Awwwww…
punya mata gak sih loe!!! Ampun deh Tuhan, apa salah Ares pagi ini, kok
bisa-bisanya ditabrak dua kali.” Kali ini Aresta benar-benar tersungkur tanpa
tangannya bisa menopang.
“Maaf banget ya, gue tadi lagi buru-buru ke kantor guru,
jadi gak ngeliat elo, elo gak papa?” Suara lembut nanmerdu itu meminta maaf
dengan tulusnya. Tubuh berpawakan jangkung, rambut bergaya landak, kulit putih
(untuk laki-laki), dan mempunyai bibir merah alami. Aresta hanya terpelongo
saat di sadarinya sesosok pangeran yang ada didepannya, fikirannya benar-benar
tersita, amarahnya hilang. “Yaudah maaf
ya gue buru-buru, elo anak kelas apa? Nanti gue mau nraktir loe buat
permintaan maaf.”
“Sebelas IPA dua kak.” Jawab Andin dengan senyum, ia tau
sahabatnya kini sedang terhipnotis, jadi tidak bisa menjawab.
“Ohh…oke gue pergi dulu yaa, sampe nanti..” cowok
jangkung itu melangkah pergi meninggalkan Aresta dengan masih dalam keadaan
‘tidak sadar’. Sampai di kelas pun Aresta masih linglung tidak bisa banyak
bicara.
***
“Hai, udah siap?” cowok yang tadi menabraknya kini di
depan pintu kelas. Bel istirahat memang baru lima menit yang lalu berbunyi.
Aresta hanya tersenyum dengan anggukan. Kini rambutnya dikuncir kuda rapi hasil
dandanan Andin. “Nah rapi gini dong, kan cantik.” Gumam cowok itu. “Oiya temen
loe kemana, gak ikut?”
“Dia udah ke kantin kak. Ngomong-ngomong nama kakak
siapa, anak kelas berapa?” Kata Aresta dengan nada lembut dan sopan, beda
seratus delapan puluh derajat dari tadi pagi.
“Ohh hehe iya, kita belon kenalan ya, nama gue Arga,
kelas dua belas IPA5. Nama loe siapa?”
“Aresta Kirana Dewi, kak, panggil aja Ares atau Resta.
Ngomong-ngomong makasih ya kak udah di traktir.” Mereka sudah sampai dikantin dan menengguk
segelas es campur nya masing-masing.
***
“Andiiiinnnnnnnnnnn… nanti pulsek anterin gue ke mall
yaaaaa! Gue mau beli aksesoris, sepatu, sama baju. Yaa Ndin, sama Sekawan
yaaa.” Teriak Aresta saat setelah memasuki kelas dan memeluki sahabat-sahabatnya
satu persatu, dengan gaya centil nya. Aresta punya enam sahabat yang selalu
diajaknya dalam senang mau pun susahnya. Ada Tea, Gita, Dewi, Devi, dirinnya
dan tentu saja Andin.
“Ehh… kesambet apa loe Res? Kok tiba-tiba ngajak ke
mall?” Tea menangkap gelagat aneh temannya yang satu ini.
“Iya, biasanya loe kan yang paling males kalo di ajak ke
mall. Dapet imbalan apa nih kita?” Sekarang gentian Gita yang menginstrogasi
temannya ini.
“Tadi pagi… Aresta tuh baru kesambet…”
“Ssssttttt!! Apaan sih Andin udah dong. Besok kalian tau
sendiri deh…” kata Aresta, mukanya kini memerah.
“Oiya, Res, yang nabrak elo tadi pagi yang ngomong kalo
jalan yang elo lewatin itu punya nenek moyang nya itu, namanya kak Airlangga yang
punya sekolahan ini.” Kata Devi dengan muka serius. Aresta mengerutkan kening
seketika fikirannya teringat tentang kejadian tadi pagi. Cepat-cepat ia melirik
kearah Andin dan menunjukkan mata sebal. Seketika Andin tersenyum penuh kata
‘maaf keceplosan’. “Dia ya yang ngebuat loe jadi kayak kerasukan dewi gini?
Mendadak feminine?”
“What? Ya enggak lah, cowok model gitu, kok dikecengin,
mendingan dia...upss. Oiya gue cewek tulen tau! ”
“Dia siapa hayoo?” tanya Dewi dengan gaya mata menyipit.
“Besok aku tunjukin dehh, yuk kita ke mall, gue keburu
laper, gue traktir deh.” Kata Aresta saat mengakhiri pembicaraan seru itu.
***
From :+628345372819
Mlm
Ares, msih inget gw gk?
<Arga>
J
Seketika Ares
terbengong-bengong melihat isi sms di layar ponselnya.
Sent to : +628345372819
Ohh
kk Arga, iy kk aq msih inget, ad ap kk? J
Oiya
koq bsa dpet nomerku? J
Mereka pun terlibat sms-an seru. Hari ke hari Aresta dan
Arga semakin dekat. Arga pun sering mendatangi kelas Aresta dan mengajaknya
makan bersama di kantin.
Kini Aresta pun berubah 180 derajat menjadi cewek cantik
seutuhnya, ia meninggalkan kebiasaan ‘gembel’ nya. Dan lagi-lagi
sahabat-sahabatnya yang mendandani cewek yang satu ini menjadi cewek rapi nan
cantik. Hampir setiap minggu Aresta selalu menyempatkan dirinya untuk pergi ke
mall dan ke salon tentunya ia meminta para sahabatnya itu menemani.
Sahabat-sahabat Aresta kini terbiasa dengan kelakuan Aresta. Mereka selalu
mengikuti perkembangan kisah cinta sahabatnya yang satu ini. Mereka pun selalu
ada saat Aresta mau ngoceh, cerita panjang lebar sampai waktu istirahat habis.
Mereka memang sahabat terbaik yang Aresta miliki.
***
Dua bulan berlalu, namun kak Arga belum juga ‘nembak’
Aresta. Aresta pun semakin cemas, para sahabatnya juga semakin cemas. Ia
semakin gusar karena ia kini merasa ada jarak antara dirinya dan kak Arga. Setelah
perkenalannya dua bulan bersama kak Arga, kak Arga seperti menghilang perlahan.
Aresta seperti badan yang kehilangan nyawanya perlahan.
***
Bruuuuukkkkkk…
“Aduhhh…” Aresta tidak melanjutkan kalimatnnya, dirasakannya sakit karena
tubuhnya tersungkur jatuh di lantai. Tubuhnya terlalu lemas hingga ia tidak
bisa berkata lebih banyak lagi.
“Aduh sory, gue nabrak loe lagi, ehh loe kenapa kok lemes
gitu? Karena Arga ya? Ehh bangun dong, sini gue bantu.” Suara kak Airlangga,
seperti tak didengar Aresta, ia tetap diam, tetapi tetap masuk ke otaknya. Ia
berjalan dipapah kak Airlangga sampai ke kelasnya. Di dalam kelasnya semua
warga kelas termasuk warga anak kelas sebelas terbengong-bengong melihat
kejadian itu. Ditambah mereka melihat Aresta lemas, semakin berfantasilah otak
mereka. Sampai di kelas Aresta masih saja muram. Dan sesaat setelah kak
Airlangga menghilang, seperti ada petir yang melintas di otaknya, ia seketika
terengang, ia kembali teringat kata-kata kak Airlangga saat membantunya berdiri
tadi. Ia berdiri dan berlari ke luar kelas dan menyusul kak Airlangga. Tak
beberapa lama Aresta melihat sosok kak Airlangga, dan segera diraihnya tangan
seniornya itu.
“Kak? Tunggu kak,..” dengan nafas terengah-engah Aresta
mencoba berbicara.
“Ha? Ada apa Res?” kata kak Airlangga dengan bingung.
Tanpa banyak bicara, kak Airlangga membawa Aresta ke kantin. Di sodorkannya
segelas teh hanggat untuk cewek itu.
“Kak, kamu kok bisa tau kalo aku sama kak Arga… and satu
lagi kok kakak bisa tau namaku.” Kata Aresta langsung ke pokok pembicaraan,
setelah menengguk teh hangatnya. Namun Airlangga hanya terdiam, muka nya
menggambarkan betapa binggung nya dirinya.
“Kamu gak perlu tau.” Kata Airlangga seraya berdiri dan
hendak pergi. Namun Aresta berhasil memegang tangan cowok itu dan memaksanya
untuk duduk kembali.
“Aku mohon kak, jelasin ke aku, aku tau kakak tau tentang
sesuatu soal kak Arga yang ngilang.” Nada Aresta begitu sedih. Terasa dan
terdengar menyayat di telingga Airlangga. Seketika Airlangga terduduk ia diam
sejenak, rasa gusar bercampur ekspresi takut yang hebat terlihat di bias
matanya.
“Emhh… maaf Aresta, Gue udah buat loe kayak ini.” Nada
Airlangga begitu lembut hingga nyaris tak terdengar. Ia pun tertunduk.
“Sebenernya… Arga itu anak pembantu di rumah gue, bonyok gue yang nyekolahin
dia di sini bareng gue.” Nada Airlangga terputus-putus tapi ia tetap
melanjutkan kalimatnya. “Sebenernya gue yang nyuruh dia buat deketin loe, buat
nyari semua informasi tentang elo. Dan ngerubah loe dari Aresta yang terkenal
cuek dan gaya ‘gembel’nya jadi cewek seutuhnya. Loe masih inget pas elo gue
tabrak, dan elo kena tabrak lagi? Itu semua udah gue setting… Dan gue… gue
ngelakuin semua itu karena… karena udah dari lama gue suka sama elo, dari pas
gue ngeliat elo waktu MOS, dari awal dulu pas kita tabrakan, tapi gue gak brani
buat deketin elo, karena gue perhatiin elo orangnya cuek.”
Aresta mendengar penjelasan itu menjadi limbung, ia
berdiri dan berlari pergi meninggalkan Airlangga yang masih duduk tertunduk.
Semua penjelasan Airlangga membuatnya kalut. Aresta lalu menceritakan semuanya
kepada sahabat-sahabatnya, dengan air mata yang terus mengalir.
***
Esok harinya semua kelas sebelas kembali terbengong-bengong,
bahkan kelas dua belas yang tau cerita Aresta, Arga, dan Airlangga pun ikut
terbengong-bengong. Mereka melihat
Aresta kembali dengan gaya ala ‘gembel’nya, namun sekarang Aresta bersama
sahabat Sekawannya, mereka persis berpenampilang gaya ala Aresta yaitu
‘ngembel’. Dari cerita sahabatnya ini mereka memutuskan untuk menjadi bebas
atas diri mereka dengan gaya mereka sendiri, dan tentunya sekarang mereka ber-6
sepakat untuk menunggu sesosok pangeran yang bisa menerima diri mereka seutuhnya
tanpa menjadi orang lain. Dan soal kisah cinta Aresta… masih ada lanjutan nya
di “Gembel Cantik 2” ditunggu yaaa…
0 komentar:
Posting Komentar